Rabu, 24 Juli 2019

MEMBANGUN SPIRITUAL SISWA SAIC


Hari ini, merupakan hari pertama pada Tahun Pembelajaran 2019/2020 siswa SAIC melaksanakan shalat Dhuha. Shalat Dhuha bagian dari kegiatan pembinaan karakter siswa untuk menumbuhkan kedisiplinan, kemandirian, dan terlebih membangun mental spiritual agar mereka mengenal perlahan-lahan akan kehadiran Allah di tengah-tengah kehidupan mereka. Pembiasaan ini juga merupakan salah satu langkh mengantarkan  kepada moral kehidupan. Moral yang akan membimbing mereka sedikit-sedikit kepad tingkat yang lebih tiggi yaitu nilai spiritual. 
Moral merupakan tingkah laku manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan memiliki perilaku tak bermoral apabila perilakunya tidak sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Selain itu ada perilaku amoral atau nonmoral yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang lebih disebabkan karena ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok.
Sementara itu, moral merupakan suatu kebutuhan penting bagi peserta didik, terutama sebagai pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Meskipun moral erat kaitannya dengan hubungan interpersonal, namun sejak lama ia telah menjadi wilayah pembahasan dalam filsafat. Oleh sebab itu, Lawrence Kohlberg menempatkan moral sebagai fenomena kognitif dalam kajianpsikologi. Apa yang disebut dengan moral menurut Kohlberg adalah bagian dari penalaran (reasoning), sehingga ia pun menamakannya dengan penalaran moral (moral reasoning). Penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi diri dengan orang lain ini didasarkan atas prinsip equality, artinya orang lain sama derajatnya dengan diri. Jadi, antara diri dan diri orang lain, antara hak dan kewajiban.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya atau guru), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Dengan demikian, peserta didik yang bertindak sesuai dengan moral adalah mereka yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik-buruknya sesuatu. Karena lebih bersifat penalaran, maka perkembangan moral menurut Kohlberg sejalan dengan perkembangan nalar sebagaimana yang dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget tersebut, makin tinggi pula tingkatan moralnya. Dengan penekannya pada penalaran ini, berarti Kohlberg ingin melihat struktur proses kognitif yang mendasari jawaban atau pun perbuatan-perbuatan moral.
Banyak ahli yang mempersamakan antara moral dengan akhlak. Halim (dalam Raharjo, 2010) mendefinisikan akhlak atau moral mempunyai empat makna yaitu 1) moral adalah sekumpulan kaidah bagi perilaku yang diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang, 2) moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang dianggap baik berdasarkan kelayakan bukan berdasarkan syarat, 3) moral adalah teori akal tentang kebaikan dan keburukan, menurut filsafat dan 4) tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna humanisme yang kental yang tercipta dengan adanya hubungan-hubungan sosial. Menurut Raharjo (2010) bahwa akhlak merupakan keseluruhan kebiasaan manusia yang berasal dalam diri yang didorong keinginan secara sadar dan dicerminkan dalam perbuatan yang baik. Akhlak merupakan pondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara al-Kholiq sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan-Nya.
Dengan demikian, moral, akhlak dan spritualitas tidak bisa dipisahkan. Spritualitas merupakan aspek yang lebih banyak melihat lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal. Spritualitas adalah citra rasa totalitas kedalaman pribadi manusia. Ada yang menyamakan antara spritualitas dengan religiusitas, namun banyak pula yang membedakan keduanya. Yang jelas bahwa dalam spritualitas mengandung makna semangat, roh, jiwa, dan keteguhan hati atau keyakinan.
Pijakan utama pendidikan berbasis sipiritual adalah al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Al-quran memuat nilai dan ketentuan lengkap dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, posisi hadis Nabi menempati sumber kedua yang berperan sebagai penjelas terhadap isyarat-isyarat hukum dan nilai-nilai yang terdapat dalam al-quran. Peran al-quran dalam kehidupan ilmu dan kehidupan, hukum, sosial, serta budaya masyarakat muslim dapat tergambar dalam firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 2-4:“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”
Allah menjelaskan akan eksistensial manusia di muka bumi ini. Dasarnya dapat terlihat dari paparan berikut, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “ Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.(QS. al-A’raf:172).
Keseimbangan antara dunia dan akhirat menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itu al Gazali (dalam Arief, 2002) menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mewujudkan kebahagiaan peserta didik baik dunia maupun akhirat, sebagaimana yang dimaksud dalam surat Al Qashash/27: 77: “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (diadaptasi dari modul PPG)








Senin, 22 Juli 2019

MARI BERGANDENG TANGAN MENUMBUHKAN KEDISPLINAN


Bismillah,

Kepada Ayah dan Bunda yang kami hormati.
Hari ini, Senin, 22 Juli adalah hari pertama sekolah efektif untuk seluruh peserta didik Sekolah Alam Insan Cemerlang. Meskipun selama satu minggu pertama, mulai tanggal 15 sampai dengan 20 masuk sekolah, kegiatan belajar tersebut yang hanya sampai dhuhur, lebih bersifat adaptasi untuk mengawali para peserta didik masuk sekolah setelah melaksanakan liburan yang cukup lama. Liburan akhir tahun pembelajaran yang diberikan sekolah adalah masa bagi mereka untuk berkumpul bersama keluarga, menikmati hari-hari bercengkrama bersama teman-teman, ataupun menghabiskan waktu mencari pengalaman edukatif di sela-sela liburan di dalam maupun luar kota.
Untuk menyongsong pembelajaran 2019/2020 ini, tentu Ayah dan Bunda sudah mempersiapkan segala sesatunya untuk kebutuhan sekolah, baik itu seragam, seperangkat alat tulis, dan sebagainya. Kelengkapan sarana penunjang ini merupakan salah satu instrumen bagi Ananda untuk bersiap-siap menerima informasi yang diterima dari bapak dan ibu guru. Di samping persiapan yang sifatnya fisik, Ayah dan Bunda juga sudah jauh-jauh membisikkan sejak lama kesiapan mental berupa doa dan motivasi agar peserta didik mampu beradaptasi dengan baik, mampu bersosial, mengikuti pembelajaran, dan dalam kondisi yang selalu prima untuk menerima ilmu yang akan disampaikan oleh bapak dan Ibu guru.
Dengan segala perlengkapan sekolah  yang dipersiapkan, tentu dengan harapan agar peserta didik betul-betul siap mendapatkan ilmu yang bermanfaat dari proses pembelajaran selama di sekolah. Disamping kompetensi kognitif yang akan mereka dapatkan, tentu ada hal lain yang akan Ananda terima,  yaitu pendidikan karakter. Ya, pendidikan karakter adalah inti bersekolah. Motivasi belajar yang senantiasa tumbuh, kemampuan bersosial aktif, dan kedisiplinan dalam menjalankan setiap kegiatan merupakan buah hasil pembelajaran sesungguhnya. Jika pendidikan karakter ini sudah dicapai dengan baik, maka kemampuan lainnya akan mengikuti seiring dengan proses pendidikan karakter berjalan.
Sekolah merupakan mediator untuk mengantarkan harapan Ayah dan Bunda mendambakan anak sholih, disiplin,  sehat, ceria dan cerdas. Tahapan-tahapan perkembangan kepribadian siswa ditopang dengan proses pembelajaran, ditambah pula dengan berbagai menu program harian, minggunan dan tahunan.  Peneladanan guru, dan pembinaan-pemmbinaan lainnya, seperti shalat berjamaah, opening terpadu permainan edukatif, merupakan media-media untuk membangun perlahan-lahan sisi kepribadian, sosial, dan spiritual.
Peraturan dibuat bertujuan untuk menciptakan suasana pembelajaran kondusif. Peraturan bukan acuan tunggal dalam proses pembinaan peserta didik. Pembiasaan, pemotivasian, dan peneladanan yang konsisten merupakan langkah utama dalam proses pembinaan. Dalam hal ini, kerjasama yang tulus untuk membangun kesadaran belajar yang tinggi, kedisiplinan yang ajeg merupakan tugas bersama. Benih-benih kedisiplinan mulai disemai semenjak Ananda sebelum masuk sekolah dengan cara berpakaian rapih, masuk ke sekolah tepat waktu, dan mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan aktif.
Dengan demikian, mari kita bersama-sama mengantarkan Ananda menuju pecapaian sikap spiritual, sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan yang sempurna. Mari kita jaga agar grafik kedisiplinan senantiasa konsisten.  Kerjasama aktif dan konsisten antara sekolah dan orang tua, maka sesungguhnya kita sedang melayani, membangun dan mengisi masa-masa emas kehidupan mereka agar lebih survive dan tahan untuk menyongsong dinamika masa yang akan datang. Dukungan Ayah dan Bunda terhadap semua program sekolah merupakan modal utama tercapainya hasil out put dan out come yang bisa dinikmati dan dilihat bersama.


Selasa, 25 Juni 2019

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN


Bagian 1
A. Pengertian Belajar Menurut Teori Behavioristik

Belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa, sedangkan Respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons), semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behaviotistik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan.

B.     Teori Belajar Menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949) 

Teori Thorndike ini disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism). Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati

C.     Teori Belajar Menurut John Broades Watson (1878-1958)

Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.

 

D.     Teori Belajar Menurut Clark Leaonard Hull (1884-1952

 

Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.

E.     Teori Belajar Menurut Edwin Ray Guthrie (1886-1959) 

Menurut Guthrie stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar siswa perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar.

F.      Teori Belajar Menurut Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)


Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus– respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skiner.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1.       Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2.      Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3.      Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan yang diperbuatnya.

G.    Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran

1)      Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
2)     Siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan
3)     Dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau siswa adalah obyek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
4)     Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan  pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Thorndike (Schunk, 2012) kemudian merumuskan peran yang harus dilakukan guru dalam proses pembelajaran, yaitu:

a. Membentuk kebiasaan siswa. Jangan berharap kebiasaan itu akan terbentuk dengan sendirinya
b.      Berhati hati jangan smpai membentuk kebiasaan yang nantinya harus diubah. Karena mengubah kebiasaan yang telah terbentuk adalah hal yang sangat sulit.
c. Jangan membentuk dua atau lebih kebiasaan, jika satu kebiasaan saja sudah cukup
c.      Bentuklah kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu akan digunakan.

5)     Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
6)     Salah satu contoh pembelajaran behavioristik adalah pembelajaran terprogram (PI/Programmed Instruction), di mana pembelajaran terprogram ini merupakan Feedback pada pembelajaran dengan multimedia cenderung diberikan sebagai penguatan dalam setiap soal, hal ini serupa dengan program pembelajaran yang pernah dikembangkan Skinner

Rabu, 19 Juni 2019

PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN HOLISTIK, KONTEKSTUAL, DAN FUTURISTIK


PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN HOLISTIK, KONTEKSTUAL, DAN FUTURISTIK
Nanang Abdul Haq, S.Pd.I
Bagian-2

A.     PEMBELAJARAN HOLISTIK

1)      Konsep Pembelajaran Holistik
Kata “holistik‟ (holistic) berasal dari kata “holisme‟ (holism). Kata “holisme‟ pertama kali digunakan oleh J.C. Smuts pada tahun 1926 dalam tulisannya yang berjudul Holism and Evolution, bahwa asal kata “holisme” diambil dari bahasa Yunani, holos, yang berarti semua atau keseluruhan. Smuts mendefinisikan holisme sebagai sebuah kecenderungan alam untuk membentuk sesuatu yang utuh sehingga sesuatu tersebut lebih besar daripada sekedar gabungan-gabungan bagian hasil evolusi (Nobira: 2012).
Pembelajaran holistic adalah turunan dari konsep pembelajaran holistik (holistic learning) yang merupakan suatu filsafat Pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual
Paradigma pembelajaran holistik menurut Anhar (2015:27) menekankan proses pendidikan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Tujuan pembelajaran holisti kadalah terbentuknya manusia seutuhnya dan masyarakat seutuhnya.
b.       Materi pembelajaran holistik mengandung kesatuan pendidikan jasmani-ruhani, mengasah kecerdasan intelektual-spritual-emosional, kesatuan materi pendidikan teoritis –praktis, kesatuan materi pendidikan pribadi-sosial- ketuhanan.
c.        Proses pendidikan holistik mengutamakan kesatuan kepentingan anak didik dan masyarakat.
d.       Evaluasi Pendidikan holistik mementingkan tercapainya perkembangan anak didik dalam bidang penguasaan ilmu, sikap, dan keterampilan.
           
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self- actualization) yang ditandai dengan adanya:(1) Kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan (Anhar, 2015:28).
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, di antaranya:
(1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif
(2) prosedur pembelajaran yang fleksibel
(3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu
(4) pembelajaran yang bermakna
(5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada

2)      Ciri-Ciri Pembelajaran Holistik
Menurut Rubiyanto (2010:42-43) terdapat sembilan ciri pembelajaran holistik yaitu:
a.    Pembelajaran diarahkan agar siswa menyadari akan keunikan dirinya dengan segala potensinya. Mereka harus diajak untuk berhubungan dengan dirinya yang paling dalam (innerself), sehingga memahami eksistensi, otoritas, tapi sekaligus bergantung sepenuhnya kepada pencipta-Nya.
b.    Pembelajaran tidak hanya mengembangkan cara berpikir analitis/linier tapi juga intuitif.
c.    Pembelajaran berkewajiban menumbuh-kembangkan potensi kecerdasan jamak (multiple intelligences).
d.    Pembelajaran berkewajiban menyadarkan siswa tentang keterkaitannya dengan komunitasnya, sehingga mereka tak boleh mengabaikan tradisi, budaya, kerjasama, hubungan manusiawi, serta pemenuhan kebutuhan yang tepat guna.
e.    Pembelajaran berkewajiban mengajak siswa untuk menyadari hubungannya dengan bumi dan "masyarakat" non manusia seperti hewan, tumbuhan, dan benda benda tak bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka emiliki kesadaran ekologis
f.     Kurikulum berkewajiban memperhatikan hubungan antara berbagai pokok bahasan dalam tingkatan trans-disipliner, sehingga hal itu akan lebih memberi makna kepada siswa.
g.    Pembelajaran berkewajiban menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan antara belajar individual dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi dengan proses, antara pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan intuisi, antara kuantitatif dengan kualitatif.
h.    Pembelajaran adalah sesuatu yang tumbuh, menemukan, dan memperluas cakrawala.
i.      Pembelajaran adalah sebuah proses kreatif dan artistik.
Sedangkan Miller (1991:3) mengungkapkan karakteristik pembelajaran holistik adalah sebagai berikut:
a.              Pendidikan holistik memelihara perkembangan peserta didik yang terfokus pada intelektual, emosional, sosial, fisik, kreatifitas atau intuitif, estetika dan spiritual emosi
b.             Menciptakan hubungan yang terbuka dan kolaboratif antara pendidik dan peserta didik
c.              Mendorong keinginan untuk memperoleh makna dan pemahaman agar dapat menjadi bagian dari dunia dengan melakukan penekanan pada belajar melalui pengalaman hidup dan belajar di luar batas-batas kelas dan lingkungan pendidikan formal sehingga dapat memperluas wawasan.
d.             Pendekatan ini memberdayakan peserta didik untuk berpikir secara kritis dalam konteks kehidupan mereka . Pendidikan holistik memiliki kapasitas untuk membimbing peserta didik untuk memperluas kepribadian individu serta memiliki kapasitas menciptakan individu untuk berpikir secara berbeda, kreatif dan mencerminkan nilai-nilai yang sudah tertanam dalam dirinya. Guru diharapkan mampu mendorong peserta didik untuk berkembang menjadi lebih terdidik dan berpartisipasi sebagai anggota masyarakat.

3)      Strategi Pembelajaran Holistik

Mengutip pendapat Ginnis (2008), rencana pembelajaran sedapat mungkin bertujuan agar peserta didik mengasah
a.      Berpikir: peserta didik memproses data secara aktif, logis, lateral, imajinatif, deduktif, dsb.
b.      Kecerdasan emosional: belajar menagani emosi dan menghubungkan dengan lainnya secara terampil, mengembangkan cirri personal positif seperti kendali diri dan nilai-nilai seperti keadilan.
c.       Kemandirian: peserta didik menguasai sikap dan kecakapan yang membuat mereka mampu memulai mempertahankan belajar tanpa guru.
d.      Saling ketergantungan: peserta didik terlibat dalam mutualitas yang merupakan inti dari kerja sama dan basis dari demokrasi.
e.      Sensasi ganda: peserta didik mendapat pengalaman melalui sejumlah indera bersama-sama dari efek melihat, mendengar dan melakukan.
f.        Fun: peserta didik memerlukan pengalaman belajar yang bervariasi seperti suasana serius dan ringan, aktif dan pasif, individual dan kelompok, terkontrol dan lepas, bising dan tenang sehingga menimbulkan kesenangan yang nyata.
g.      Artikulasi: peserta didik membicarakan atau menulis pikiran, seringkali dalam bentuk draft sebagai suatu bagian penting dari proses penciptaan pemahaman personal. Pembelajaran holistik tidak seperti teknik brainstorming atau mind map. Secara fundamental pendidikan holistik akan mengubah cara belajar dan cara menyerap informasi.

B.                      PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

1)      Konsep Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar.Sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan komponen utama pembelajaran yakni :
a.      konstruktivisme (constructivism),
b.      menyelidiki (inquiry),
c.       pemodelan (modeling), dan
d.      penilaian autentik (authentic assessment).

2)      Penerapan Pembelajaran Kontekstual

1.      Pembelajaran tidak hanya tekstual melainkan dikaitkan dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari siswa di lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar, dan dunia kerja, dengan melibatkan ketujuh komponen utama seagaimana yang disebutkan di atas sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa.
2.      Pembelajaran kontekstual dapat diterapakan dalam kelas besar maupun kelas kecil, namun akan lebih mudah organisasinya jika diterapkan dalam kelas kecil.
3.      Pembelajaran kontekstual memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaran yang ada di lingkungan sekitar seperti tukang las, bengkel, tukang reparasi elektronik, barang-barang bekas, koran, majalah, perabot-perabot rumah tangga, pasar, toko, TV, radio, internet, dan sebagainya
4.      Dalam pembelajaran kontekstual rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebenarnya lebih bersifat sebagai rencana pribadi dari pada sebagai laporan untuk kepala sekolah atau pengawas seperti yang dilakukan saat ini
5.      RPP lebih cenderung berfungsi mengingatkan guru sendiri dalam menyapkan alat-alat/media dan mengendalikan langkah-langkah(skenario) pembelajaran sehingga bentuknya lebih sederhana.
6.      Beberapa model pembelajaran yang merupakan aplikasi pembelajaran kontekstual antara lain model pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran kooperatif (cooperative learning), dan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning)

C.  PEMBELAJARAN FUTURISTIK

1)      Konsep Pembelajaran Futuristik
Drucket dan Stewart (dalam Saryono, 2002) mencatat bahwa pada masa ini dan lebih-lebih pada masa depan, keberadaan, kedudukan, peranan pengetahuan menjadi hal yang strategis dan utama. Sejalan dengan itu, pada aspek siswa, banyak perubahan yang terjadi pada mereka karena perubahan teknologi yang selalu disuguhkan pada mereka setiap hari, dan bahkan setiap saat. Perubahan-perubahan tersebut menurut John Seely Brown (2005), antara lain adalah sebagai berikut:
a.     Mereka menyukai ada kontrol. Para siswa generasi abad ke-21 tidak menyukai terikat oleh jadwal-jadwal tradisional, dan juga tidak menyukai duduk di dalam kelas untuk belajar, atau duduk di dalam kantor untuk bekerja. Sebaliknya mereka lebih menyukai untuk belajar sendiri dengan menggunakan alat komunikasi yang bisa menjangkau dunia yang tak terbatas. Dengan caranya sendiri, mereka akan memperoleh informasi dari berbagai sumber di dunia. Dengan demikian, mereka harus dikontrol target pencapaian pengetahuannya, proses belajarnya dan hasil yang mereka dapatkan.
b.     Mereka juga menyukai banyak pilihan. Untuk mata pelajaran project, yakni tugas melakukan mini riset, mereka akan menggunakan teknologi untuk memperoleh banyak informasi. Mereka harus diberi kebebasan untuk memilih metode dan teknik-tekniknya, untuk mereka jalani dan pada akhirnya akan mampu menyiapkan laporan, sebagaimana para siswa atau mahasiswa yang melakukannya secara tradisional.
c. Mereka adalah orang-orang yang menyukai ikatan kelompok dan ikatan sosial, hanya saja mereka membangun group melalui media sosial mereka, dan oleh karenanya kelompok mereka lintas bangsa, negara, budaya dan bahkan agama. Mereka memiliki jejaring internasional yang dinamis, dan jika mereka manfaatkan untuk menjadikan jejaringnya sebagai peer group-nya, maka mereka akan memiliki pengelaman keilmuan yang jauh lebih baik, daripada tutorial atau mentoring dalam satu kelas di sekolah tradisional
d. Mereka adalah orang-orang terbuka, melalui tradisi jejaringnya mereka terbelajarkan untuk menjadi terbuka, karena dalam jaringannya semua penganut agama ada dan terkelompokkan, ada yang Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan juga Kong Hu Chu, atau bahkan mungkin ada yang atheis, tapi komunikasi mereka tetap berjalan dan tidak terganggu oleh perbedaan-perbedaan tersebut.

2)      Trend E-Learning dalam Pembelajaran Futuristik

Belajar itu mahal, membutuhkan waktu yang panjang dan hasilnya bervariasi. E-learning telah dicoba selama bertahun-tahun untuk melengkapi cara belajar kita agar lebih efektif dan terukur. Hasilnya sekarang ada banyak alat yang membantu menciptakan kursus interaktif, menstandarisasi proses belajar dan/atau memasukkan unsur informal kedalam proses belajar formal dan sebaliknya.

a. Pembelajaran Berbasis Android

Pembelajaran berbasis android pada dasarnya bisa disebut sebagai micro- learning. Micro-learning berfokus pada desain aktivitas pembelajaran mikro melalui tahapan mikro dalam lingkungan media digital, yang sudah menjadi realitas keseharian pekerja pengetahuan dewasa ini.
Micro-learning merupakan pergeseran paradigma penting yang menghindari kebutuhan untuk memiliki sesi belajar yang terpisah karena proses pembelajaran tertanam dalam rutinitas sehari-hari pengguna. Itulah yang menjadi alasan micro-learning sangat cocok untuk menggunakan perangkat mobile berbasis android

b.        Pembelajaran Otomatis (Automatic Learning)
Jenis pembelajaran otomatis ini mungkin terdengar seperti masa depan distopia bagi banyak orang, tapi ke sanalah kita mengarah. Dan terlepas dari pertanyaan etis yang mungkin timbul, manfaatnya bisa menjadi substansial pada banyak tingkatan jika digunakan dengan benar. Begini cara kerjanya: Anda memilih tugas yang membutuhkan kinerja tinggi korteks visual Anda,seperti menangkap bola. Kemudian temukan seseorang yang pro dalam menangkap bola, tempatkan dia di mesin fMRI dan rekam apa yang terjadi didalam otaknya saat dia memvisualisasikan menangkap bola. Kemudian Anda mendapatkan program tangkap-bola Anda, dan siap untuk belajar. Langkah selanjutnya: posisikan diri Anda ke mesin fMRI, dan kencangkan untuk menginduksi citra menangkap-bola profesional yang sudah Anda rekam sebelumnya ke otak Anda dengan menggunakan neuro feedback. Anda bahkan tidak perlu memperhatikan saat ini terjadi.
Otak Anda, bagaimanapun, menjadi terbiasa dengan pola itu - yang adalah merupakan esensi pembelajaran: otak menjadi terbiasa dengan pola baru..
Riset telah menunjukkan bahwa pemutaran pola fMRI ini dapat menyebabkan peningkatan tahan lama dalam tugas yang memerlukan kinerja visual. Secara teori, jenis pembelajaran otomatis adalah hasil potensial dan kemungkinan wajah pembelajaran e- learning di masa mendatang

c.              Blended Learning
Istilah Blended Learning dalam pendidikan tinggi didefinisikan sebagai sistem pembelajaran dalam Handbook of Blended Learning (Bonk & Graham, 2006: 5-6) sebagai yang “yang menggabungkan pengajaran tatap muka dengan instruksi yang dimediasi komputer ”Dalam bab pertama buku ini, Graham mencatat bahwa definisi ini “… mencerminkan gagasan bahwa blended learning adalah kombinasi instruksi dari dua model pengajaran dan pembelajaran yang terpisah secara historis: sistem pembelajaran Face to Face (F2F) tradisional dan sistem pembelajaran terdistribusi”.





MEMBANGUN SPIRITUAL SISWA SAIC

Hari ini, merupakan hari pertama pada Tahun Pembelajaran 2019/2020 siswa SAIC melaksanakan shalat Dhuha. Shalat Dhuha bagian dari kegiata...