Hari ini, merupakan hari pertama pada Tahun Pembelajaran 2019/2020 siswa SAIC melaksanakan shalat Dhuha. Shalat Dhuha bagian dari kegiatan pembinaan karakter siswa untuk menumbuhkan kedisiplinan, kemandirian, dan terlebih membangun mental spiritual agar mereka mengenal perlahan-lahan akan kehadiran Allah di tengah-tengah kehidupan mereka. Pembiasaan ini juga merupakan salah satu langkh mengantarkan kepada moral kehidupan. Moral yang akan membimbing mereka sedikit-sedikit kepad tingkat yang lebih tiggi yaitu nilai spiritual.
Moral merupakan tingkah laku
manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan memiliki perilaku tak bermoral
apabila perilakunya tidak sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan
ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib
menyesuaikan diri. Selain itu ada perilaku amoral atau nonmoral yang merupakan
perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang lebih disebabkan karena
ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja
terhadap standar kelompok.
Sementara itu, moral merupakan
suatu kebutuhan penting bagi peserta didik, terutama sebagai pedoman menemukan
identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan
menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi.
Meskipun moral erat kaitannya dengan hubungan interpersonal, namun sejak lama
ia telah menjadi wilayah pembahasan dalam filsafat. Oleh sebab itu, Lawrence
Kohlberg menempatkan moral sebagai fenomena kognitif dalam kajian psikologi. Apa yang disebut dengan moral menurut
Kohlberg adalah bagian dari penalaran (reasoning),
sehingga ia pun menamakannya dengan penalaran moral (moral reasoning). Penalaran
atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang
lain, hak dan kewajiban. Relasi diri dengan orang lain ini didasarkan atas
prinsip equality, artinya orang lain
sama derajatnya dengan diri. Jadi, antara diri dan diri orang lain, antara hak
dan kewajiban.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan
dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak
memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk
dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain
(dengan orang tua, saudara, teman sebaya atau guru), anak belajar memahami
tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana
yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Dengan demikian, peserta didik yang bertindak sesuai
dengan moral adalah mereka yang mendasarkan tindakannya atas penilaian
baik-buruknya sesuatu. Karena lebih bersifat penalaran, maka perkembangan moral
menurut Kohlberg sejalan dengan perkembangan nalar sebagaimana yang dikemukakan
oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap
perkembangan Piaget tersebut, makin tinggi pula tingkatan moralnya. Dengan
penekannya pada penalaran ini, berarti Kohlberg ingin melihat struktur proses
kognitif yang mendasari jawaban atau pun perbuatan-perbuatan moral.
Banyak ahli yang mempersamakan
antara moral dengan akhlak. Halim (dalam Raharjo, 2010) mendefinisikan akhlak
atau moral mempunyai empat makna yaitu 1) moral adalah sekumpulan kaidah bagi
perilaku yang diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang, 2) moral adalah
sekumpulan kaidah perilaku yang dianggap baik berdasarkan kelayakan bukan
berdasarkan syarat, 3) moral adalah teori akal tentang kebaikan dan keburukan, menurut
filsafat dan 4) tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna humanisme yang
kental yang tercipta dengan adanya hubungan-hubungan sosial. Menurut Raharjo
(2010) bahwa akhlak merupakan keseluruhan kebiasaan manusia yang berasal dalam
diri yang didorong keinginan secara sadar dan dicerminkan dalam perbuatan yang
baik. Akhlak merupakan pondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara al-Kholiq sebagai
pencipta dan manusia sebagai ciptaan-Nya.
Dengan demikian, moral, akhlak
dan spritualitas tidak bisa dipisahkan. Spritualitas
merupakan aspek yang lebih banyak melihat lubuk hati, riak getaran hati nurani
pribadi, sikap personal. Spritualitas adalah citra rasa totalitas kedalaman
pribadi manusia. Ada yang menyamakan antara spritualitas dengan religiusitas,
namun banyak pula yang membedakan keduanya. Yang jelas bahwa dalam spritualitas
mengandung makna semangat, roh, jiwa, dan keteguhan hati atau keyakinan.
Pijakan utama pendidikan berbasis
sipiritual adalah al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Al-quran memuat nilai
dan ketentuan lengkap dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, posisi hadis Nabi
menempati sumber kedua yang berperan sebagai penjelas terhadap isyarat-isyarat
hukum dan nilai-nilai yang terdapat dalam al-quran. Peran al-quran dalam kehidupan
ilmu dan kehidupan, hukum, sosial, serta budaya masyarakat muslim dapat
tergambar dalam firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 2-4:“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada
yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang
telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”
Allah menjelaskan akan
eksistensial manusia di muka bumi ini. Dasarnya dapat terlihat dari paparan
berikut, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “ Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lemah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”.(QS. al-A’raf:172).
Keseimbangan antara dunia dan
akhirat menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itu al Gazali (dalam Arief, 2002)
menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mewujudkan kebahagiaan peserta
didik baik dunia maupun akhirat, sebagaimana yang dimaksud dalam surat Al
Qashash/27: 77: “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (diadaptasi dari modul PPG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar