Rabu, 24 Juli 2019

MEMBANGUN SPIRITUAL SISWA SAIC


Hari ini, merupakan hari pertama pada Tahun Pembelajaran 2019/2020 siswa SAIC melaksanakan shalat Dhuha. Shalat Dhuha bagian dari kegiatan pembinaan karakter siswa untuk menumbuhkan kedisiplinan, kemandirian, dan terlebih membangun mental spiritual agar mereka mengenal perlahan-lahan akan kehadiran Allah di tengah-tengah kehidupan mereka. Pembiasaan ini juga merupakan salah satu langkh mengantarkan  kepada moral kehidupan. Moral yang akan membimbing mereka sedikit-sedikit kepad tingkat yang lebih tiggi yaitu nilai spiritual. 
Moral merupakan tingkah laku manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan memiliki perilaku tak bermoral apabila perilakunya tidak sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Selain itu ada perilaku amoral atau nonmoral yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang lebih disebabkan karena ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok.
Sementara itu, moral merupakan suatu kebutuhan penting bagi peserta didik, terutama sebagai pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Meskipun moral erat kaitannya dengan hubungan interpersonal, namun sejak lama ia telah menjadi wilayah pembahasan dalam filsafat. Oleh sebab itu, Lawrence Kohlberg menempatkan moral sebagai fenomena kognitif dalam kajianpsikologi. Apa yang disebut dengan moral menurut Kohlberg adalah bagian dari penalaran (reasoning), sehingga ia pun menamakannya dengan penalaran moral (moral reasoning). Penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi diri dengan orang lain ini didasarkan atas prinsip equality, artinya orang lain sama derajatnya dengan diri. Jadi, antara diri dan diri orang lain, antara hak dan kewajiban.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya atau guru), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Dengan demikian, peserta didik yang bertindak sesuai dengan moral adalah mereka yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik-buruknya sesuatu. Karena lebih bersifat penalaran, maka perkembangan moral menurut Kohlberg sejalan dengan perkembangan nalar sebagaimana yang dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget tersebut, makin tinggi pula tingkatan moralnya. Dengan penekannya pada penalaran ini, berarti Kohlberg ingin melihat struktur proses kognitif yang mendasari jawaban atau pun perbuatan-perbuatan moral.
Banyak ahli yang mempersamakan antara moral dengan akhlak. Halim (dalam Raharjo, 2010) mendefinisikan akhlak atau moral mempunyai empat makna yaitu 1) moral adalah sekumpulan kaidah bagi perilaku yang diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang, 2) moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang dianggap baik berdasarkan kelayakan bukan berdasarkan syarat, 3) moral adalah teori akal tentang kebaikan dan keburukan, menurut filsafat dan 4) tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna humanisme yang kental yang tercipta dengan adanya hubungan-hubungan sosial. Menurut Raharjo (2010) bahwa akhlak merupakan keseluruhan kebiasaan manusia yang berasal dalam diri yang didorong keinginan secara sadar dan dicerminkan dalam perbuatan yang baik. Akhlak merupakan pondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara al-Kholiq sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan-Nya.
Dengan demikian, moral, akhlak dan spritualitas tidak bisa dipisahkan. Spritualitas merupakan aspek yang lebih banyak melihat lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal. Spritualitas adalah citra rasa totalitas kedalaman pribadi manusia. Ada yang menyamakan antara spritualitas dengan religiusitas, namun banyak pula yang membedakan keduanya. Yang jelas bahwa dalam spritualitas mengandung makna semangat, roh, jiwa, dan keteguhan hati atau keyakinan.
Pijakan utama pendidikan berbasis sipiritual adalah al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Al-quran memuat nilai dan ketentuan lengkap dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, posisi hadis Nabi menempati sumber kedua yang berperan sebagai penjelas terhadap isyarat-isyarat hukum dan nilai-nilai yang terdapat dalam al-quran. Peran al-quran dalam kehidupan ilmu dan kehidupan, hukum, sosial, serta budaya masyarakat muslim dapat tergambar dalam firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 2-4:“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”
Allah menjelaskan akan eksistensial manusia di muka bumi ini. Dasarnya dapat terlihat dari paparan berikut, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “ Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.(QS. al-A’raf:172).
Keseimbangan antara dunia dan akhirat menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itu al Gazali (dalam Arief, 2002) menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mewujudkan kebahagiaan peserta didik baik dunia maupun akhirat, sebagaimana yang dimaksud dalam surat Al Qashash/27: 77: “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (diadaptasi dari modul PPG)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMBANGUN SPIRITUAL SISWA SAIC

Hari ini, merupakan hari pertama pada Tahun Pembelajaran 2019/2020 siswa SAIC melaksanakan shalat Dhuha. Shalat Dhuha bagian dari kegiata...