PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN HOLISTIK, KONTEKSTUAL, DAN FUTURISTIK
Nanang Abdul Haq, S.Pd.I
Bagian-2
A.
PEMBELAJARAN HOLISTIK
1)
Konsep Pembelajaran Holistik
Kata “holistik‟ (holistic) berasal dari kata “holisme‟ (holism). Kata “holisme‟ pertama kali
digunakan oleh J.C. Smuts pada tahun 1926 dalam tulisannya yang berjudul Holism and Evolution, bahwa asal kata
“holisme” diambil dari bahasa Yunani, holos,
yang berarti semua atau keseluruhan. Smuts mendefinisikan holisme sebagai
sebuah kecenderungan alam untuk membentuk sesuatu yang utuh sehingga sesuatu
tersebut lebih besar daripada sekedar gabungan-gabungan bagian hasil evolusi
(Nobira: 2012).
Pembelajaran holistic
adalah turunan dari konsep pembelajaran holistik (holistic learning) yang merupakan suatu
filsafat Pendidikan yang berangkat dari pemikiran
bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan
tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan
nilai-nilai spiritual
Paradigma pembelajaran
holistik menurut Anhar (2015:27) menekankan proses pendidikan dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Tujuan pembelajaran holisti
kadalah terbentuknya manusia seutuhnya dan masyarakat seutuhnya.
b. Materi pembelajaran holistik
mengandung kesatuan pendidikan jasmani-ruhani, mengasah kecerdasan
intelektual-spritual-emosional, kesatuan materi pendidikan teoritis –praktis,
kesatuan materi pendidikan pribadi-sosial- ketuhanan.
c.
Proses pendidikan holistik mengutamakan kesatuan kepentingan anak
didik dan masyarakat.
d. Evaluasi Pendidikan holistik
mementingkan tercapainya perkembangan anak didik dalam bidang penguasaan ilmu,
sikap, dan keterampilan.
Jika
merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan
peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self- actualization) yang ditandai dengan
adanya:(1) Kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4)
kepercayaan (Anhar, 2015:28).
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan
strategi pembelajaran holistik, di antaranya:
(1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif
(2)
prosedur pembelajaran yang fleksibel
(3)
pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu
(4)
pembelajaran yang bermakna
(5)
pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada
2) Ciri-Ciri Pembelajaran Holistik
Menurut Rubiyanto
(2010:42-43) terdapat sembilan ciri pembelajaran holistik yaitu:
a. Pembelajaran diarahkan agar
siswa menyadari akan keunikan dirinya dengan segala potensinya. Mereka harus
diajak untuk berhubungan dengan dirinya yang paling dalam (innerself), sehingga memahami eksistensi, otoritas, tapi sekaligus
bergantung sepenuhnya kepada pencipta-Nya.
b. Pembelajaran tidak hanya
mengembangkan cara berpikir analitis/linier tapi juga intuitif.
c. Pembelajaran berkewajiban
menumbuh-kembangkan potensi kecerdasan jamak (multiple intelligences).
d. Pembelajaran berkewajiban
menyadarkan siswa tentang keterkaitannya dengan komunitasnya, sehingga mereka
tak boleh mengabaikan tradisi, budaya, kerjasama, hubungan manusiawi, serta
pemenuhan kebutuhan yang tepat guna.
e. Pembelajaran berkewajiban
mengajak siswa untuk menyadari hubungannya dengan bumi dan "masyarakat" non manusia seperti
hewan, tumbuhan, dan benda
benda tak bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka emiliki kesadaran
ekologis
f. Kurikulum berkewajiban
memperhatikan hubungan antara berbagai pokok bahasan dalam tingkatan
trans-disipliner, sehingga hal itu akan lebih memberi makna kepada siswa.
g. Pembelajaran berkewajiban
menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan antara
belajar individual dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi dengan
proses, antara pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan intuisi,
antara kuantitatif dengan kualitatif.
h. Pembelajaran adalah sesuatu
yang tumbuh, menemukan, dan memperluas cakrawala.
i. Pembelajaran adalah sebuah
proses kreatif dan artistik.
Sedangkan Miller (1991:3)
mengungkapkan karakteristik pembelajaran holistik adalah sebagai berikut:
a.
Pendidikan holistik memelihara perkembangan peserta didik yang terfokus
pada intelektual, emosional, sosial, fisik, kreatifitas atau intuitif,
estetika dan spiritual emosi
b.
Menciptakan hubungan yang terbuka dan kolaboratif antara pendidik dan peserta
didik
c.
Mendorong keinginan untuk memperoleh makna dan pemahaman agar dapat
menjadi bagian dari dunia dengan melakukan penekanan pada belajar melalui
pengalaman hidup dan belajar di luar batas-batas kelas dan lingkungan
pendidikan formal sehingga dapat memperluas
wawasan.
d.
Pendekatan ini memberdayakan peserta didik untuk berpikir secara
kritis dalam konteks kehidupan mereka . Pendidikan holistik memiliki kapasitas
untuk membimbing peserta didik untuk memperluas kepribadian individu serta
memiliki kapasitas menciptakan individu untuk berpikir secara berbeda, kreatif
dan mencerminkan nilai-nilai yang sudah tertanam dalam dirinya. Guru diharapkan
mampu mendorong peserta didik untuk berkembang menjadi lebih terdidik dan
berpartisipasi sebagai anggota masyarakat.
3)
Strategi
Pembelajaran Holistik
Mengutip pendapat Ginnis
(2008), rencana pembelajaran sedapat mungkin bertujuan agar peserta didik mengasah
a. Berpikir: peserta didik
memproses data secara aktif, logis, lateral, imajinatif, deduktif, dsb.
b. Kecerdasan emosional: belajar
menagani emosi dan menghubungkan dengan lainnya secara terampil, mengembangkan
cirri personal positif seperti kendali diri dan nilai-nilai seperti keadilan.
c. Kemandirian: peserta didik
menguasai sikap dan kecakapan yang membuat mereka mampu memulai mempertahankan
belajar tanpa guru.
d. Saling ketergantungan:
peserta didik terlibat dalam mutualitas yang merupakan inti dari kerja sama dan
basis dari demokrasi.
e. Sensasi ganda: peserta didik
mendapat pengalaman melalui sejumlah indera bersama-sama dari efek melihat,
mendengar dan melakukan.
f.
Fun: peserta didik memerlukan pengalaman belajar
yang bervariasi seperti suasana serius dan ringan, aktif dan pasif, individual
dan kelompok, terkontrol dan lepas, bising dan tenang sehingga menimbulkan
kesenangan yang nyata.
g. Artikulasi: peserta didik
membicarakan atau menulis pikiran, seringkali dalam bentuk draft sebagai suatu
bagian penting dari proses penciptaan pemahaman personal. Pembelajaran holistik
tidak seperti teknik brainstorming atau mind
map. Secara fundamental pendidikan holistik akan mengubah cara belajar dan
cara menyerap informasi.
B.
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
1) Konsep Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran
kontekstual merupakan pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan
konteks dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik dalam lingkungan
keluarga, masyarakat, alam sekitar.Sehingga siswa mampu membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
dengan melibatkan komponen utama pembelajaran yakni :
a.
konstruktivisme (constructivism),
b.
menyelidiki (inquiry),
c. pemodelan (modeling), dan
d.
penilaian autentik (authentic
assessment).
2)
Penerapan
Pembelajaran Kontekstual
1.
Pembelajaran
tidak hanya tekstual melainkan dikaitkan dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari siswa di lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar, dan dunia
kerja, dengan melibatkan ketujuh komponen utama seagaimana yang disebutkan di
atas sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa.
2. Pembelajaran kontekstual
dapat diterapakan dalam kelas besar maupun kelas kecil, namun akan lebih mudah
organisasinya jika diterapkan dalam kelas kecil.
3. Pembelajaran kontekstual
memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaran yang ada di lingkungan
sekitar seperti tukang las, bengkel, tukang reparasi elektronik, barang-barang
bekas, koran, majalah, perabot-perabot rumah tangga, pasar, toko, TV, radio,
internet, dan sebagainya
4.
Dalam
pembelajaran kontekstual rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebenarnya
lebih bersifat sebagai rencana pribadi dari pada sebagai laporan untuk kepala sekolah atau pengawas seperti
yang dilakukan saat ini
5.
RPP
lebih cenderung berfungsi mengingatkan guru sendiri dalam menyapkan
alat-alat/media dan mengendalikan langkah-langkah(skenario) pembelajaran
sehingga bentuknya lebih sederhana.
6.
Beberapa
model pembelajaran yang merupakan aplikasi pembelajaran kontekstual antara lain
model pembelajaran langsung (direct
instruction), pembelajaran kooperatif (cooperative
learning), dan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning)
C. PEMBELAJARAN
FUTURISTIK
1) Konsep Pembelajaran Futuristik
Drucket dan Stewart (dalam
Saryono, 2002) mencatat bahwa pada masa ini dan lebih-lebih pada masa depan,
keberadaan, kedudukan, peranan pengetahuan menjadi hal yang strategis dan utama.
Sejalan dengan itu, pada aspek siswa,
banyak perubahan yang terjadi pada mereka karena perubahan teknologi yang selalu
disuguhkan pada mereka setiap hari, dan bahkan setiap saat. Perubahan-perubahan tersebut
menurut John Seely
Brown (2005), antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Mereka menyukai ada kontrol.
Para siswa generasi abad ke-21 tidak menyukai terikat oleh jadwal-jadwal tradisional,
dan juga tidak menyukai duduk di dalam kelas untuk belajar, atau duduk di dalam
kantor untuk bekerja. Sebaliknya mereka lebih menyukai untuk belajar sendiri
dengan menggunakan alat komunikasi yang bisa menjangkau dunia yang tak
terbatas. Dengan caranya sendiri, mereka akan memperoleh informasi dari
berbagai sumber di dunia. Dengan demikian, mereka harus dikontrol target pencapaian pengetahuannya, proses belajarnya dan hasil yang mereka dapatkan.
b. Mereka juga menyukai banyak
pilihan. Untuk mata pelajaran project,
yakni tugas melakukan mini riset, mereka akan menggunakan teknologi untuk
memperoleh banyak informasi. Mereka harus diberi kebebasan untuk memilih metode
dan teknik-tekniknya, untuk mereka jalani dan pada akhirnya
akan mampu menyiapkan laporan, sebagaimana para
siswa atau mahasiswa yang melakukannya secara tradisional.
c. Mereka adalah orang-orang
yang menyukai ikatan kelompok dan ikatan sosial, hanya saja mereka membangun group melalui media sosial mereka, dan
oleh karenanya kelompok mereka lintas bangsa, negara, budaya dan bahkan agama.
Mereka memiliki jejaring internasional yang dinamis, dan jika mereka manfaatkan
untuk menjadikan jejaringnya sebagai peer group-nya, maka mereka akan memiliki
pengelaman keilmuan yang jauh lebih baik, daripada tutorial atau mentoring
dalam satu kelas di sekolah tradisional
d. Mereka adalah orang-orang
terbuka, melalui tradisi jejaringnya mereka terbelajarkan untuk menjadi
terbuka, karena dalam jaringannya semua penganut agama ada dan terkelompokkan,
ada yang Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan juga Kong Hu Chu, atau bahkan mungkin ada yang
atheis, tapi komunikasi mereka tetap berjalan dan tidak terganggu oleh
perbedaan-perbedaan tersebut.
2)
Trend E-Learning dalam Pembelajaran Futuristik
Belajar itu mahal,
membutuhkan waktu yang panjang dan hasilnya bervariasi. E-learning telah dicoba selama bertahun-tahun untuk melengkapi cara belajar kita agar lebih efektif dan
terukur. Hasilnya sekarang ada banyak alat yang membantu menciptakan kursus
interaktif, menstandarisasi proses belajar dan/atau memasukkan unsur informal kedalam proses belajar formal dan
sebaliknya.
a. Pembelajaran Berbasis
Android
Pembelajaran berbasis android
pada dasarnya bisa disebut sebagai micro-
learning. Micro-learning berfokus pada desain aktivitas pembelajaran mikro
melalui tahapan mikro dalam lingkungan media digital, yang sudah menjadi
realitas keseharian pekerja pengetahuan dewasa
ini.
Micro-learning merupakan
pergeseran paradigma penting yang menghindari kebutuhan untuk memiliki sesi belajar yang terpisah karena
proses pembelajaran tertanam dalam rutinitas sehari-hari
pengguna. Itulah yang menjadi alasan micro-learning
sangat cocok untuk menggunakan perangkat mobile berbasis android
b.
Pembelajaran Otomatis (Automatic Learning)
Jenis
pembelajaran otomatis ini mungkin terdengar seperti masa depan distopia bagi banyak
orang, tapi ke sanalah kita mengarah. Dan terlepas dari pertanyaan etis yang mungkin timbul, manfaatnya bisa
menjadi substansial pada banyak tingkatan jika digunakan dengan benar. Begini
cara kerjanya: Anda memilih tugas yang membutuhkan kinerja tinggi
korteks visual Anda,seperti menangkap bola. Kemudian
temukan seseorang yang pro
dalam menangkap bola, tempatkan dia di mesin fMRI dan rekam apa yang terjadi
didalam otaknya saat dia memvisualisasikan menangkap bola. Kemudian Anda
mendapatkan program tangkap-bola Anda, dan siap untuk belajar. Langkah
selanjutnya: posisikan diri Anda ke mesin fMRI, dan kencangkan untuk
menginduksi citra menangkap-bola profesional yang sudah Anda rekam sebelumnya
ke otak Anda dengan menggunakan neuro feedback. Anda bahkan tidak perlu memperhatikan saat ini terjadi.
Otak
Anda, bagaimanapun, menjadi terbiasa dengan pola itu - yang adalah merupakan
esensi pembelajaran: otak menjadi terbiasa dengan pola baru..
Riset telah menunjukkan bahwa pemutaran pola fMRI ini dapat
menyebabkan peningkatan tahan lama dalam tugas yang memerlukan kinerja visual.
Secara teori, jenis pembelajaran otomatis adalah hasil potensial dan
kemungkinan wajah pembelajaran e- learning di masa
mendatang
c.
Blended Learning
Istilah Blended Learning
dalam pendidikan tinggi didefinisikan sebagai sistem pembelajaran dalam
Handbook of Blended Learning (Bonk & Graham, 2006: 5-6) sebagai yang “yang
menggabungkan pengajaran tatap muka dengan instruksi yang dimediasi komputer
”Dalam bab pertama buku ini, Graham mencatat bahwa definisi ini “… mencerminkan gagasan bahwa blended learning adalah kombinasi instruksi
dari dua model pengajaran dan pembelajaran yang terpisah secara historis:
sistem pembelajaran Face to Face (F2F) tradisional dan sistem pembelajaran
terdistribusi”.
terimakasih
BalasHapus